Pendahuluan
Makoto Shinkai telah dikenal sebagai sutradara dengan ciri khas visual memukau dan cerita yang menyentuh hati. Setelah sukses besar melalui Your Name dan Weathering With You, ia kembali dengan karya terbarunya, Suzume no Tojimari atau lebih dikenal dengan judul internasional Suzume. Tapi kali ini, Shinkai membawa kita ke perjalanan yang tidak hanya tentang cinta, tapi juga luka, kehilangan, dan pertumbuhan.
Di postingan kali ini, saya ingin mengulas dan membedah film ini — dari premis cerita, tema yang diangkat, visualnya yang menakjubkan, hingga mengapa Suzume terasa begitu personal sekaligus universal.
Sinopsis Singkat
Suzume Iwato adalah gadis SMA yang tinggal bersama bibinya di sebuah kota kecil. Suatu hari, ia bertemu pria misterius bernama Souta yang sedang mencari “pintu”. Pintu-pintu ini ternyata bukan sembarang pintu — mereka adalah gerbang ke bencana yang bisa menghancurkan Jepang.
Saat Suzume secara tidak sengaja membuka salah satu pintu tersebut, ia pun terseret dalam petualangan lintas daerah demi menutup pintu-pintu lain yang tersebar di seluruh Jepang. Namun di balik semua itu, ia juga harus menghadapi kenangan masa lalu yang selama ini terkunci dalam dirinya.
Tema: Antara Kehilangan dan Melangkah Maju
Makoto Shinkai tidak sekadar menyajikan petualangan penuh fantasi. Di balik upaya “menutup pintu”, Suzume adalah metafora besar tentang trauma dan bagaimana seseorang bisa berdamai dengannya.
Film ini secara eksplisit mengangkat isu bencana alam, khususnya gempa besar yang melanda Jepang pada tahun-tahun sebelumnya. Tapi alih-alih menunjukkannya secara gamblang, Shinkai mengolahnya lewat simbol-simbol: pintu, kursi kecil milik ibunya, hingga bayangan cacing raksasa (kehilangan yang tak terkendali).
Suzume, sebagai karakter, mewakili banyak anak muda yang kehilangan arah karena masa lalu — dan lewat perjalanannya, kita sebagai penonton ikut diajak memahami bahwa menutup masa lalu bukan berarti melupakannya, tapi menerima dan merelakan.
Visual dan Musik: Kekuatan Shinkai yang Konsisten
Bicara tentang karya Shinkai, tidak lengkap tanpa membahas visualnya. Seperti biasa, Suzume menghadirkan panorama langit, kota, dan lanskap Jepang yang sangat indah dan detail. Tiap kota yang dikunjungi Suzume terasa hidup — bukan hanya sebagai latar, tapi bagian dari cerita.
Desain cacing raksasa, suasana ketika pintu terbuka, hingga scene di dunia “di balik pintu” — semua divisualisasikan dengan imajinasi yang tinggi, namun tetap menyimpan makna.
Musik dari RADWIMPS juga kembali hadir sebagai pelengkap emosional. Soundtrack seperti "Suzume" (feat. Toaka) benar-benar memperkuat atmosfer dan emosi di beberapa momen penting.
Karakter: Kursi Berkaki Tiga yang Menguras Emosi
Hubungan mereka bukan sekadar romansa remaja, tapi lebih ke arah koneksi emosional antara dua jiwa yang sama-sama punya beban. Souta yang dipaksa memikul tanggung jawab sebagai “Closer”, dan Suzume yang harus menghadapi luka dari masa kecilnya.
Kritik Ringan
Beberapa kritik terhadap Suzume datang dari pacing-nya yang kadang terburu-buru di paruh akhir. Beberapa penonton juga merasa bahwa pesan sosialnya terlalu terselubung. Namun bagi saya, justru itulah kekuatan film ini — tidak menggurui, tapi memberi ruang bagi penonton untuk merenung.
Penutup
Suzume adalah karya yang memadukan keindahan visual, fantasi ringan, dan pesan emosional yang dalam. Ini bukan hanya soal menutup pintu bencana, tapi membuka pintu dalam diri sendiri — menghadapi masa lalu, dan berani melangkah maju.
Makoto Shinkai kembali membuktikan bahwa ia bukan hanya pencerita cinta remaja, tapi juga narator yang mampu mengolah luka kolektif masyarakat Jepang menjadi kisah yang intim dan personal.
Jika kamu belum menonton Suzume, saya sangat merekomendasikannya — bukan hanya untuk keindahan animasinya, tapi untuk pengalaman emosional yang menyentuh dan membekas.
Sampai jumpa di postingan selanjutnya di RopersoVerse, tempat di mana anime bukan hanya tontonan — tapi perjalanan batin yang tak terlupakan.
0 Komentar